Bonus Bermasalah, Imbas Medali Yang Fantastis dari Porprov

BANDARLAMPUNG --- Tidak akan ada asap tanpa ada api. Tidak ada akibat tanpa sebab. Nah begitu seterusnya bahwa ternyata hukum alam ini adalah hukum sebab akibat.

Beberapa kabupaten dan kota ternyata saat ini khususnya di dunia olahraga masih hangat membicarakan sebuah pokok bahasan yaitu bonus.

Hampir seluruh kabupaten dan kota kelimpungan menyiapkan dana untuk membayar bonus para ksatria olahraga yang pada Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) ke-IX tahun 2022 lalu sudah berjuang sekuat tenaga berburu medali di seluruh arena pertandingan, di 32 cabang olahraga yang dipertandingkan.

Saat itu, bertapa pesta meriah dan penuh dengan dinamika di lapangan itu menjadi arena adu gengsi hingga pada pertandingan terakhir menjelang upacara penutupan Porprov digelar.

Nah sekarang akibat itu muncul. Beberapa kabupaten menjadi bahan bahasan karena terlambat atau belum jelas menentukan berapa besarnya bonus yang akan dilakukan, meskipun pesta sudah berakhir 4 bulan lalu.

Dibatasi mengacu PON

Ada catatan penting yang harus diluruskan mulai saat ini. Bahwa Porprov itu pembinaan berjenjang dengan anak tangga berikutnya ada PON. Artinya, seluruh cabang olahraga harus berfikir realistis bahwa nomor-nomor yang dipertandingkan adalah nomor yang mengcau pada pra PON atau Porwil.

Nah sampai di sini dulu yang harus dipahami bersama. Ya benar, Porprov itu pesta nya para atlet di sebuah provinsi. Tapi atlet yang mana.

Tidak semua atlet itu berpesta di sini, artinya ada kategori usia yang harusnya membatasi. Porprov bukan arena berpestanya anak-anak usia dini, atau yang belum masuk kategori umur untuk masuk ke PON tahun berikutnya.

Porprov juga bukan arena jor-joran medali yang bahkan tidak penting, diada-adakan. Bukan. Mungkin harus bicara fakta saja sekarang, kenapa harus membatasi diri.

Karena, Porprov ini sudah jelas tujuannya adalah mempersiapkan atlet ke jenjang berikutnya yakni PON, satu atau dua tahun ke depan. Bukan anak-anak usia dini yang dipertandingkan, meskipun ini disiapkan untuk PON beberapa tahun ke depan.

Kalau mau memaksakan anak-anak juga punya arena pesta olahraga, ya harus dibuat sendiri dengan sebuah festival misalnya, baik single event maupun multy event. Tetapi harus dipisah dengan Porprov ini.

Harusnya pemahaman ini sudah clear pada tataran pembina olahraga di atas, pelatih dan pengurus cabor. Bukan malah gagasannya dari mereka. Ini kalau kata Jaya Suprana, adalah kelirumologi. Salah kaprah.

Akibatnya, ya sekarang ini. Ratusan medali emas, perak dan perunggu tersebar di seluruh kontingen dengan konsekuensi ada bonusnya.

Bagaimana tidak merasa kebobolan, kalau tiba-tiba sebuah kabupaten harus mengeluar bonus untuk medali emas 100 keping, medali perak 79 keping dan medali perunggu 97 keping. Hah.

Seharusnya semua harus menyepakati bahwa untuk pertandingan di masing-masing cabor harus seuai dengan kebutuhannya. Misalnya disepakati untuk setiap cabor memperebutkan maksimal 30 medali emas, 30 perak dan 60 perunggu, misalnya. Ini permisalan saja.

Jika dalam Porprov itu diasumsikan dipertandingkan 30 cabang olahraga saja, maka keseluruhan medali yang diperebutkan kurang lebih sudah 900 medali emas. Kemudian disusul Perak dan Perunggunya.

Memang tidak seluruh cabor medalinya 30 keping. Ada yang hanya satu dalam satu cabor. Misalnya Sepak Bola, Futsal, Bola Voli, Softbol dan Bola Basket.

Kemudian, tidak seluruh cabor akan mempertandingkan 30 nomor. Misalnya Bulutangkis maksimal hanya 7 medali emas, Binaraga maksimal 10 medali emas, dan masih banyak lagi cabor yang kurang dari 20 medali emas. Ini ilustrasinya.

Dalam realitanya hanya cabor-cabor tertentu yang memungkinkan melombakan lebih dari 30 nomor. Misalnya Atletik,  Renang dan Beladiri.

Dan inipun jika mau bertindak jujur, maka semua harus berpatokan dengan medali di PON, maka urusannya sudah selesai. Tidak mungkin di PON ada cabang olahraga yang melombakan 100 nomor. Yang masih mungkin yaa hanya dua cabor tadi, Atletik dan Renang.

Artinya, jangan sampai ada lagi yang memperebutkan medali lebih dari 30 medali emas.

Sudahlah untuk yang memperebutkan hingga 100 medali emas itu terakhir pada Porprov ke IX kemarin. Kedepan harus disepakati seperti itu. Apalagi jika menengok anggaran yang dikucurkan sangat kecil.

Maka akibatnya pasti saat pembagian bonus seperti sekarang ini. Hiruk pikuk proses pencairan bonus di 15 kabupaten dan kota itu kan hanya akibat, dari sebab yang didampakkan oleh Porprovnya sendiri. Stop medali yang fantastis.

Satu Atlet Dua Cabor

Ada banyak faktor yang bisa merusak mental atlet dalam rangka mengikuti pesta besar olahraga se level provinsi saja. Coba kita pilah dan pilih, apakah dengan membludaknya medali yang diperebutkan itu tidak membuat beberapa “orang picik” kemudian memutar otak untuk sekedar mencari peluang. Yang ujungnya uang.(?)

Pernah dengar, ada satu atlet bermain di dua cabang olahraga berbeda (?) Apa pendapat anda soal ini. Apakah ini keinginan atlet atau pelatih, atau pengurus. Mana peluang terbesarnya. (?)

Jangan tersinggung bagi yang tidak melakukan hal ini. Karena hanya 0,02 persen dari orang-orang olahraga yang mempertahankan sportivitas secara hakiki saja yang melakukannya.

Beberapa cabang olahraga yang mirip-mirip bisa menjadi sasaran empuk para “olahragawan bermental kerdil” ini, misalnya Tinju dan Wushu, Judo dengan Sambo, Taekwondo dengan Hapkido, Gulat dengan Kurash dan masih banyak lagi.

Tetapi nilai sekecil itu sudah “melukai” apa yang diagung dalam olahraga yakni Spotivitas.

Tentu kita tidak semua tahu apa tujuannya melakukan hal seperti itu, mendaftarkan satu atlet untuk dua cabang olahraga berbeda, dan mungkin untuk daerah yang berbeda-beda juga. Kalau bukan uang alasannya. Alasan medali itu kan sarananya, ujungnya tetap uang.

Jangankan di Porprov. Di perhelatan nasional saja juga bisa dilakukan kok. Namun itulah yang kemudian akan meracuni mentalitas secara mendalam dan seterusnya akan masuk ke tulang sumsum atlet bahwa dia sudah melakukan hal yang “haram” dengan sengaja.

Seharus sebagai seorang atlet harus segera bertobat, sekalipun itu atas paksaan pelatih maupun pengurus atau bahkan pejabat yang punta pengaruh sangat kuat pada dirinya.

Nah itulah dua hal yang selalu merusak citra olahraga terutama kita bicara di tataran Porprov saja. Money oriented, yang merusak mental sebagian besar atlet Indonesia ini, bukan saja Lampung, tetapi Indonesia. Karuan dia langsung terjun saja ke olahraga profesional, berolahraga khusus tujuannya mencari uang. Titik. Prestasi sama dengan uang. Atau dibalik, uang adalah prestasi.

Namun kalau masih di dunia amatir, yaa jangan “jual diri” lah. Uangnya tidak membuat kaya atau menjamin masa depan, namun nama dan kredibiltasnya sudah rusak. Dan akan begitu seterusnya.

Kembali ke bahasan tentang Porprov, ada dua yang harus dihentikan segera, yakni cabor mengumbar banyak medali yang tidak relevan, satu atlet bermain di dua cabor.

Pikirkan apa manfaatnya, itupun hanya manfaat sementara. Salam olahraga.

Membangun lebih sulit daripada merusaknya. Tabik.

Edi Purwanto: wartawan olahraga.